Menemani Sahabtku Belajar Kelompok

Menemani sahabatku dalam rutinitasnya. Siapa yang mau akan hal itu kalau bukan sahabat sendiri? Yang rencananya aku akan diasyikan oleh internet wifii di sini namun kenyataannya tidak. Siapa yang betah keadaaan ini? Bermain laptop tanpa jaringan internet. Kalau bukan sahabat sendiri pastinya sudah marah dan tidak betah. Sebagai sahabat yang baik aku menerima semua ini. Daripada muring-muring lebih baik aku mengetik ide ku di sini. Apa yang aku dapat di lingkungan baru?

Aku teringat akan tempat ini. Tempat yang dibilang sahabatku adalah tempat strategis untuk mengerjakan tugas kelompok. Di gedung ungu ini semua berbaju sama. Berdresscode hitam putih hanya untuk dua hari. Senin dan selasa. Selain hari itu bebas. Aku paling mencolok di sini. Memakai baju garis-garis pink kalem. Aku tidak terima jika dikatakan ungu. Karena ini tidak sama ungunya dengan dinding yang  warnanya begitu kental di sini yaitu ungu gedung keguruan sebelas maret.
Aku duduk lesehan, menyandarkan punggung pada tiang berstop kontak. Aku cukup beruntung mendapatkan stopkontak nganggur. Aku tak tahu apa jadinya jika tidak kutemukan stopkontak. Aku cukup kewalahan dengan laptop ini.

Menghirup udara sore ini sembari mencari inspirasi. Apa yang ingin ku tulis. Tentu saja apa yang sedang aku rasakan. Aku bisa saja menghabiskan berlembar kertas untuk menuliskan apa yang sedang aku alami atau aku fikirkan. Sebah kegabutan menghasilkan ratusan karakter. Faedah bukan? Tapi tetap saja ini seperti tulisan tak berarti dan tak berarah. Tulisan ini egois. Tidak memberikan informasi informatif untuk kalian. Hanya biarkan mengalir dan ini adalah penghiburku.

Keadaan yang sekarang aku rasakan adalah kegabutan. Kegabutan ini memaksaku untuk menulis. Aku ingin menulis. Tapi apa? Hiruk pikuk di sini sempat membuatku linglung jika aku tidak menyibukkan diri dengan laptop. Aku terus berkutat dengan ratusan karakter. Tiap huruf pada keyboard beradu dengan tangan serta pikiranku. Apa yang aku mau sekarang adalah membentuk beberapa kata menjadi kalimat seakan aku bermain-main dengan Microsoft word. Setidaknya aku lega.

Berapa lama lagi aku menunggu. Aku sudah tidak peduli. Aku telah bermain dengan kalimat-kalimat dalam pikirku. Jika dikatakan betah atau tidaknya, aku menikmati suasana ini. Setidaknya banyak yang tidak mengenaliku, aku merasa nyaman. Kali ini aku bersenang-senang dengan tulisan. Entah bentuk tulisan macam apa yang telah ku buat. Sepertinya aku tidak kurang kerjaan.

Tempat ini sekali lagi mengingatkanku saat smp aku mengikuti lomba pasiat matematika. Saat itu pun aku tidak begitu pintar dalam matematika. Tentu saja untuk soal lomba kampret semacam ini. Aku tidak tau saat itu harus senang atau sedih ketika diriku ditunjuk. Aku termasuk beruntung atau tidak, karena pemilihan ini berdasarkan nilai raport. Hey soal lomba dengan ulangan harian sangat berbanding terbalik. Tak harus berontak, aku menuruti saja. Lumayan gratis jalan-jalan ke UNS. Sebelum lomba pun aku sudah berbeda niatnya.  Saat itu semua temanku berambisi untuk menang. Aku ikut serius belajar. Tapi aku sadar diri makanya tidak terlalu memaksakan diri dalam belajar.
Jalan-jalan ke UNS dan tidak ikut pelajaran adalah niat terselubungku. 
Seumur hidup baru kali ini ditunjuk untuk ikut lomba matematika. Aku masih ingat mengerjakan di lantai 4. Tapi untuk saat ini mustahil bagiku ke ruangan itu. Laptopku akan menghilang dalam sekejap jika aku tinggal. Hahaha


Tak berapa lama kemudian sahabatku sudah selesai dengan urusannya. Jadi, apa yang barusan aku dapat? Aku mengamati sekelilingku. Dan bergumam sendiri dengan duniaku. Bahwa kehidupan ini memiliki ribuan bahkan tak terhingga versi jalan ceritanya.

Merasakan Perkembangan Teknologi



Setiap hari aku selalu merasa ada yang berbeda dengan dunia. Perbedaan yang teramat nyata. Seolah ada semacam sihir, yang menyulap keajaiban kejaiban peradaban. Terutama dalam menghubungkan dua insan yang berada dalam dimensi waku dan jarak yang berbeda.

Dulu, ketika dunia masih sederhana, Jika aku  ingin berkomunikasi dengan sahabat, kelurga ataupun handa taulan yang jauh di mata . Selembar kertas dan pena hitampun menjadi saksi, betapa bahagianya bersua meskipun hanya sekedar lewat aksara. Lewat jasa jasa pak pos, aku percayakan sepucuk surat  itu sampai kepada si tuan penerima.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa aneh dengan dunia. Terlebih saat Alexander Graham bell menemukan benda ajaib bernama telepon. Banyak sekali khalayak yang mengagung agungkan benda ajaib tersebut. Dengannya  tak perlu lagi bersusah susah menghabiskan lembaran kertas dan pena Hanya sekedar bersua kabar dengan yang jauh disana. Cukup dengan telepon saja, dua orang dapat berjumpa langsung lewat suara. 

Tak ayal jika  keberadaanya membuat semua orang terpana , dan semakin banyak orang – orang yang menciptakan pembaruan pembarun lagi, bernama handphone. Piranti kecil komunikasi yang dapat di bawa kemana mana, meskipun sederhana tapi alat itu sangat popular jamannya.

Memang tak dipungkiri, perkembngan teknologi sungguh menyulap peradaban. Keajaiban – keajaibannya menyuguhkan kemudahan bagi hidup manusia. Seolah menjadikan setiap manusia raja bagi kehidupannya.  Terlebih, Semenjak hadirnya teknologi baru yang berbasis internet. Banyak sekali aktivitas manusia yang di kelabuhi piranti teknologi, bahkan semakin kompleks ketika terangkum dalam suatu piranti komunikasi canggih bernama android. Hingga sampailah saat dimana bepergian pun menjadi sangat mudah. Terlebih, telah dikembangkannya teknologi lain untuk memesan semua kebutuhan manusia dengan praktis

Aku dan Perkembangan Teknologi Komunikasi


"Sebuah coretan ide menulis bebas. Serasa potongan feature. Namun bukan itu. Ini adalah sebuah kebebasan menulis dari ide yang ku tuang"

       Generasi lama sudah akrab dengan barang kuno yang sekarang berkumpul di pasar barang antic. Masih menghargai barang usang namun bernilai, pasar antic menjadi saksi bisu berkumpulnya barang ekskulif itu. Suasana keramaian di sekelilingku tak seperti suasana di kantor pos. Lalu lalang orang sibuk memburu waktu. Keduanya memang melambung namanya ketika sering digunakan pada masa konvensional. Surat menyurat dengan sahabat pena memiliki keasyikan tersendiri. Dimana pada era konvensional alat teknologi komunikasi masih ekskulif. Era modern membuat langka keberadaan sahabat pena. Handphone adalah kata mewah pada saat itu. Hanya orang bertaraf tinggi lah yang dapat membeli alat canggih itu untuk berkomunikasi jarak jauh. Tidak seperti sekarang yang bahkan bocah ingusan pun memilikinya. Era moderen memang edan. Kalangan semua umur memilikinya.

       Di tengah hiruk pikuk suasana pasar, semua menundukkan kepala. Terpaku oleh benda persegi panjang tipis yang sangat diagung-agungkan. Di tengah-tengah kegilaan menunduk itu, aku masih sempatkan diri mengirimkan surat. Kepada seseorang yang lama ku kenal di belahan dunia lain. Kebiasaanku tidak akan tergerus oleh perkembangan teknologi. Bukan berarti aku tidak tahu apa itu kecanggihan handphone. Apa yang ku bicaraka melalui surat, dengan aku bercengkrama melalui hanphone, tentu saja berbeda. Sekedar alakadarnya. Keduanya ku lakukan.

       Aku tidak bisa berpaling dari era digital ini.  Tak senaif pemikiran primitif yang seakan tidak membutuhkan manfaat kemajuan teknologi komunikasi yang berkembang pesat. Era digital semakin edan. Bocah berbaju lusuh pun terasa aneh rasanya jika tak memiliki telepon pintar itu.

       Aku masih waras. Memanfaatkan era digital ini sesuai kebutuhanku. Sebuah kemudahan menggunakan fasilitas aplikasi transportasi online. Yang dapat memilah, tidaklah dibudakkan oleh perkembangan teknologi. Pahamilah sobat.

 " Dari pemikiran Mahasiswi Komunikasi- Tartila Abidatu Safira"
 
Mi Historia Blog Design by Ipietoon